Terimakasih, telah mengenalkanku pada Bung.

Pada suatu kali aku mendapatkan kesempatan untuk memotivasi siswa-siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), khususnya SMK di wilayah Jakarta Selatan. Dalam sebuah ruangan kelas salah satu SMK Negeri yang berisi sekitar empat puluhan murid kelas 12 jurusan Pemasaran, aku memulai membuka salam. Seperti biasa, menanyakan satu demi satu wajah-wajah innocent yang manakala aku pernah diposisi mereka. Berada di kelas ujung, dan mau-tidak-mau harus siap menghadapi serentetan ujian yang nantinya menjadi legitimasi untuk mereka meraih predikat kelulusan. Belum lagi pilihan demi pilihan yang semerta-merta datang menuju masa depan. Entah lulus mau langsung bekerja, kuliah, bekerja sambil kuliah, atau menikah.

Aku memberikan gambaran yang nantinya akan mereka ambil serta konsekuensi yang nantinya juga akan dihadapi. Tak lupa, juga memotivasi untuk mengambil kesempatan-kesempatan yang datang. Seperti SNMPTN, SBMPTN, ataupun seleksi-seleksi beasiswa baik dalam kota, luar kota, maupun luar negeri.

Murid-murid antusias dan merasa tercerahkan karena selama ini mereka belum cukup dalam memahami informasi yang silih berganti datang. Pertanyaan-pertanyaan terlontar dari mereka yang bimbang ketika sesi tanya jawab dimulai. Setelah jawabn demi jawaban kusampaikan, ada seorang murid laki-laki yang membuatku terusik. Sepanjang aku menyampaikan motivasi, ia hanya melirik sesekali dan terus tenggelam ke dalam buku yang ia gemggam. Buku hitam bercorak cokelat-oranye itu membuatku cemburu. Aku mengamati dari jauh dan terus mendekat guna memastikan buku apa itu? Selama ini, tidak ada yang se-acuh ini kala aku masuk kelas dan memberikan motivasi. Lantas, buku macam apa yang tengah anak itu baca hingga se-asyik itu menduakan aku yang tengah berapi-api memberikan semangat?

Aku makin penasaran, dan kudekati anak itu.

“Sedang apa kamu, nak?”, tanyaku penuh selidik.

“Baca buku ini Kak”, jawabnya singkat dan langsung tenggelam pada buku itu. Ekor matanya melirik sesaat kemudian menatap buku itu lagi.

“Sepertinya seru ya, apa sih judulnya?”, tanyaku lagi.

“Oh ini, karya penulis favorite saya Kak, buku kesekian yang saya baca. Fiersa Besari.”, jawabnya penuh semangat dan terpancar kekagumannya pada sang penulis buku itu.

Api cemburuku makin memudar. Syukurlah, penulisnya wanita. Kupikir pantas ia terlena. Dan tetiba, aku tertegun kala murid lain menyeletuk.

“Wah buku cowok gue tuh, pengen deh suatu hari ketemu, petualang keren…”,

Ucapan anak perempuan itu membuatku salah tingkah. Ternyata Fiersa Besari bukan perempuan. Api cemburu seakan membara lagi setelah tadi mulai agak redup.

***

Aku menyudahi sesi motivasi dengan perasaan sedikit gamang. Aku harus tahu siapa Fiersa Besari itu. Ia tega mengalihkan perhatian muridku hanya untuk membaca aksara-aksara yang ia rajut.

Aku mulai stalking.

Fiersa Besari, nama yang feminim. Aku terbelalak ketika si empunya nama ternyata pemuda gondrong, sedikit brewok dengan tatapan sayu. Selain penulis, ia ternyata musisi dan juga seorang pendaki. Aku tertegun ketika membaca ulasan demi ulasan tentangnya. Google seolah membuka mataku untuk mengenalnya lebih dalam, membaca tulisan tiap tulisan review bukunya, dan youtube dengan teganya menyuguhkan channelnya yang ternyata ia seseorang yang hebat.

Seorang Fiersa keluar dari kantornya. Pernah dikhianati sahabat, serta tunangannya. Ah! Jalanmu pernah menjadi kisahku Bung. Youtube seolah tak pernah lelah untuk menceritakan tentang karya Fiersa sejak aku men-subscribe channelnya.

Dan kali ini, aku tak heran mengapa anak lelaki beberapa waktu lalu lebih memilih tenggelam dalam bukunya Fiersa. Kau hebat, Bung.

Aku akan banyak belajar darimu. Ilmu pertama yang akan kupelajari, mungkin tentang bagaimana melupakan sakitnya dikhianati.

“Ketika tinta pengkhianatan tumpah di atas aksara kisah, tulisan kau dan aku tak lagi bisa terbaca. Takkan pernah lagi bisa” -Fiersa Besari.

Teruslah berkarya Bung! Aku cemburu sekaligus merasa termotivasi melihat caramu merebut perhatian salah satu muridku.